Rabu, 01 April 2015

Dia yang ingin kuceritakan (Part 1)



Semester 2 SMP kelas 1 tahun 2007 tanggal nya sudah lupa tepatnya. Pagi hari sebelum jam belajar dimulai, aku melaksanakan tugas membersihkan kelas, ku ambil sapu menyusuri setiap sudut kelas, hingga ujung sapuku tersandung kaki seseorang  membuatku harus mendongakkan  kepala melihat siapa yang telah ku tabrak kakinya. Bahkan harus lebih dari biasanya, tingginya tak bisa kuimbangi, tinggi kurus dengan rambut sebahu. Wajahnya asing, sepertinya bukan penghuni kela ini, tapi tasnya dia letakkan di kursi paling belakang kelas itu. Atau saya yang lupa wajahnya, tapi rasanya memang dia orang baru deh. Aku Cuma tersenyum saja tak berbicara sepatah katapun.
Kudengar bisik-bisik teman-teman membicarakan seorang anak baru pindahan dari Nunukan, namanya EVIE SUKMA. Orangnya berisik tidak bisa diam, ntah bagaimana caranya kami mulai akrab, hari itu jum’at pulang sekolah lebih cepat. Kuajak dia kerumah menghabiskan waktu siang sampai sore bersama. Karokean, rekaman dan kegilaan yang lain. Disana sepertinya semua bermula, aku mulai tau siapa dia sedikit demi sedikit, aku tahu dia adalah Kliker (maaf kalau salah tulis), aku tau kalau dia pernah berkelahi hanya karena tabloid biodata personil “UNGU”, aku tahu kalau dia paling benci sama pak polisi dan hal-hal lain tentangnya. Ketika dia mulai berani meceritakan hal pribadinya, maka disaat itu saya mulai mempercayainya, membuat saya berani menitipkan “rahasia-rahasia ABG” ku dengannya.
Tiga tahun berlalu bersama teman tombay itu, wanita pertama yang kulihat mampu mengendarai motor besar. Kalau bisa dibilang dia tak pernah bisa jauh-jauh dari motor, bersama motor buntutnya dia selalu kemana-mana, motor ajaib, bisa di jalankan hanya dengan sebuah sendok menggantikan fungsi kunci yang katanya sebagai pengaman motor. Ditahun ketiga, kami dipertemukan disatu kelas yang sama lagi setelah kelas dua kami berbeda kelas. Tahun dimana kami akan menjalani masa-masa terakhir di SMP, pembicaraan kami bukan lagi sal hal-hal tak penting, pembicaraan sering didominasi pertanyaan “mau kemana kita setelah ini??” sebuah sekolah yang terletak di sebuah kota, jaraknya cukup jauh. Sekitar 1,5 jam dari kampung kami menarik perhatian kami. Inilah yang saya temukan darinya, seorang anak yang tinggal didesa yang berfikir luas, mungkin karena dia besar di sebuah kota. Sesuatu yang tak kutemukan dari orang lain disekitarku. Rencana-rencana mulai disusun dan berharap itu menjadi kenyataan.
UN berlalu seminggu, kami lewati bersama, dan pada hari terkhir itulah kejadiaan yang paling berat kualami. Karena itu aku harus meninggalkan rumah dan desa itu, masa-masa terberat yang saya rasakan, rencana yang sempat terfikirkan sepertinya tak bisa terjadi. Tapi dia tak menyerah, dia hubungi aku lewat telpon beberapa kali untuk mendengar ceritaku. Seperti seorang kakak kadang-kadang tapi kadang merengek seperti serang adik kecil kepadaku. Waktu memang menjadi penyembuh setiap luka, dan waktu telah menyembuhakan ku.
Tuhan ternyata punya rencana lain, dengan modal nekat dan percaya diri kami mendaftar disalah satu sekolah bergengsi di kota sebelah, sekolah unggulan (katanya). Sedikit ciut ketika melihat antrian pendaftar yang rata-rata berasal dari sekolah terkenal di kota ini maupun dari daerah lain, sedangkan kami hanya berasal dari sekolah antah berantah yang mungkin tak ada dalam peta. Tapi ini adalah rencana yang kami susun dan harus (InsyaALLAH) terlaksana.
Bersama om yang tinggal di kota itu, kami diantar memasukkan berkas pendaftara. Waktu itu masih sekitar jam 10 pagi, mobil kijang yang mengantarkan kami hampir keluar dari gerbang sekolah itu dan disanalah aku bertemu seorang teman, seorang yang akan bergabung bersama kami dengan rencana-rencana kami selanjutnya… (to be continue)

1 komentar: