Semester 2 SMP
kelas 1 tahun 2007 tanggal nya sudah lupa tepatnya. Pagi hari sebelum jam
belajar dimulai, aku melaksanakan tugas membersihkan kelas, ku ambil sapu
menyusuri setiap sudut kelas, hingga ujung sapuku tersandung kaki seseorang membuatku harus mendongakkan kepala melihat siapa yang telah ku tabrak
kakinya. Bahkan harus lebih dari biasanya, tingginya tak bisa kuimbangi, tinggi
kurus dengan rambut sebahu. Wajahnya asing, sepertinya bukan penghuni kela ini,
tapi tasnya dia letakkan di kursi paling belakang kelas itu. Atau saya yang
lupa wajahnya, tapi rasanya memang dia orang baru deh. Aku Cuma tersenyum saja
tak berbicara sepatah katapun.
Kudengar bisik-bisik
teman-teman membicarakan seorang anak baru pindahan dari Nunukan, namanya EVIE
SUKMA. Orangnya berisik tidak bisa diam, ntah bagaimana caranya kami mulai
akrab, hari itu jum’at pulang sekolah lebih cepat. Kuajak dia kerumah
menghabiskan waktu siang sampai sore bersama. Karokean, rekaman dan kegilaan
yang lain. Disana sepertinya semua bermula, aku mulai tau siapa dia sedikit
demi sedikit, aku tahu dia adalah Kliker (maaf kalau salah tulis), aku tau
kalau dia pernah berkelahi hanya karena tabloid biodata personil “UNGU”, aku
tahu kalau dia paling benci sama pak polisi dan hal-hal lain tentangnya. Ketika
dia mulai berani meceritakan hal pribadinya, maka disaat itu saya mulai mempercayainya,
membuat saya berani menitipkan “rahasia-rahasia ABG” ku dengannya.
Tiga tahun berlalu
bersama teman tombay itu, wanita pertama yang kulihat mampu mengendarai motor
besar. Kalau bisa dibilang dia tak pernah bisa jauh-jauh dari motor, bersama motor
buntutnya dia selalu kemana-mana, motor ajaib, bisa di jalankan hanya dengan
sebuah sendok menggantikan fungsi kunci yang katanya sebagai pengaman motor. Ditahun
ketiga, kami dipertemukan disatu kelas yang sama lagi setelah kelas dua kami
berbeda kelas. Tahun dimana kami akan menjalani masa-masa terakhir di SMP,
pembicaraan kami bukan lagi sal hal-hal tak penting, pembicaraan sering
didominasi pertanyaan “mau kemana kita setelah ini??” sebuah sekolah yang
terletak di sebuah kota, jaraknya cukup jauh. Sekitar 1,5 jam dari kampung kami
menarik perhatian kami. Inilah yang saya temukan darinya, seorang anak yang
tinggal didesa yang berfikir luas, mungkin karena dia besar di sebuah kota. Sesuatu
yang tak kutemukan dari orang lain disekitarku. Rencana-rencana mulai disusun
dan berharap itu menjadi kenyataan.
UN berlalu
seminggu, kami lewati bersama, dan pada hari terkhir itulah kejadiaan yang
paling berat kualami. Karena itu aku harus meninggalkan rumah dan desa itu,
masa-masa terberat yang saya rasakan, rencana yang sempat terfikirkan
sepertinya tak bisa terjadi. Tapi dia tak menyerah, dia hubungi aku lewat
telpon beberapa kali untuk mendengar ceritaku. Seperti seorang kakak
kadang-kadang tapi kadang merengek seperti serang adik kecil kepadaku. Waktu memang
menjadi penyembuh setiap luka, dan waktu telah menyembuhakan ku.
Tuhan ternyata
punya rencana lain, dengan modal nekat dan percaya diri kami mendaftar disalah
satu sekolah bergengsi di kota sebelah, sekolah unggulan (katanya). Sedikit ciut
ketika melihat antrian pendaftar yang rata-rata berasal dari sekolah terkenal
di kota ini maupun dari daerah lain, sedangkan kami hanya berasal dari sekolah
antah berantah yang mungkin tak ada dalam peta. Tapi ini adalah rencana yang
kami susun dan harus (InsyaALLAH) terlaksana.
Bersama om yang
tinggal di kota itu, kami diantar memasukkan berkas pendaftara. Waktu itu masih
sekitar jam 10 pagi, mobil kijang yang mengantarkan kami hampir keluar dari
gerbang sekolah itu dan disanalah aku bertemu seorang teman, seorang yang akan
bergabung bersama kami dengan rencana-rencana kami selanjutnya… (to be
continue)
I'll wait the next story, ikka... :)
BalasHapus